Memiliki tempat tinggal hasil jerih payah sendiri pasti merupakan impian semua orang, terutama untuk pasangan yang sudah menikah. Hal itu berlaku juga untuk Saya.
Sampai saat ini saya masih tinggal di rumah peninggalan Alm. Ayah saya. Tentu saya sangat bersyukur karena Saya tidak perlu repot-repot cari kontrakan, dan bukan berarti saya kurang bersyukur juga karena sampai sekarang saya masih ingin membeli rumah sendiri.
Dari dulu saya berkeinginan mendapatkan segala sesuatu atas hasil usaha sendiri. Kenapa? mungkin sudah terbiasa saja. Dari kecil, seringkali saya tidak bisa mendapatkan hal yang saya inginkan karena keterbatasan dana. Iya.. saya ini cuma anak dari keluarga sederhana, yang penting cukup untuk makan dan sekolah itu sudah berkah luar biasa. Maka dari itu, sejak lulus sekolah tujuan utama saya adalah berpenghasilan sendiri, dan sejak saat itu saya perlahan bisa mewujudkan satu persatu keinginan saya.
Hal itu berlanjut sampai usia seperempat abad ini, rasanya lebih bersejarah jika semua hal bisa kita usahakan untuk mewujudkannya. Apalagi saat ini saya sudah memiliki pasangan hidup, Alhamdulillah Tuhan memberi saya teman yang senasib sepenanggungan. Sekarang saya ada teman untuk mewujudkan impian.
Balik lagi sama impian punya rumah..
huuufffftttt (tarik nafas dalam dulu ya..)
berat...berat...
Untuk para pasangan muda yang sekarang sedang mempikan sebuah rumah mana suaranya?
Kalian tidak sendirian, percayalah..
Sama seperti saya dan suami yang terus optimis kumpul-kumpul duit buat nge DP rumah. Ternyata prahara bukan hanya soal DP dan cicilan KPR, ada yang lebih berat yaitu menentukan akan membeli rumah dimana. Sudah sering kami berdebat, sampai saat ini kandidat utama adalah Jogja dan Malang.
Lhah.. kan kerjanya di Surabaya?
Sudah tak ada daya daku membayangkan membeli rumah di Surabaya, harga tanah yang kian melambung tinggi. Tak rela rasanya jika sisa hidup saya hanya untuk membayar cicilan rumah.Tidak hanya harganya yang terus meroket, bagi teman-teman saya mungkin sudah paham jika saya yang kelahiran Surabaya ini justru sudah sedari lama tidak betah tinggal di Surabaya.
Jika suatu saat saya memiliki rumah sendiri, rumah tersebut harus sesuai dengan visi hari tua kelak. Kriterianya adalah hawa dingin, lingkungan adem ayem, humanis, terhindar dari hedonisme yang kian dekat. 11-12 sama suasana kuburan bukan? anggap saja latihan...
Dan setelah menimbang dengan daya khayal yang luar biasa, terpilihlah Jogja atau Malang. Siapa yang tidak tahu pesona Jogja yang aduhai, membuat semua orang gagal move on dan merasa Jogja sangat istimewa. Tak hanya itu, meskipun harga tanah masih beda tipis dengan di Surabaya setidaknya kita akan mendapat rumah yang lebih luas dan mempunyai pekarangan ( ini sangat penting bagi kami), hal ini dikarenakan pemerintah Jogja memiliki peraturan tersendiri untuk para developer perumahan salah satunya adalah luas rumah yang dibangun memiliki luas minimal 120 meter persegi. Dan kenapa terhindar dari hedonisme? saya yakin mau di Jogja sekalipun gaya hidup hedon pasti ada, tapi kan nanti pilih rumahnya yang di Kabupaten, jadi kalaupun mau nge-hedon butuh effort lebih untuk ke Kota. Beda dengan Surabaya, jalan sebentar dari rumah saja sudah bisa sampai ke Mall atau cafe -cafe hitz.
Nah.. sayang sayang sayang.. UMK di Jogja masih rendah, nanti bayar cicilan pakai apa? ada keinginan untuk jual Gudeg di Malioboro saja rasanya, nah kan masak Gudeg gampang-gampang susah juga. hffffttthhhh....
Pada akhirnya, kami simpan Jogja sebagai mimpi kita. Siapa tahu nanti berjodoh juga untuk tinggal di Jogja. Tak perlu mewah, yang penting nyaman.
Dan untuk kota tujuan selanjutnya nanti kita cerita-cerita lagi di part selanjutnya,
Barangkali kalian juga mengalami hal yang sama, monggo sharing... cerita kalian adalah inspirasi untuk Saya :)
Sudah ya... Bos sedang perjalanan balik ke kantor, sebentar lagi kerjaan menyerang Saya bertubi-tubi (lagi) .
Komentar
Posting Komentar